Kini, remaja di Indonesia punya berbagai masalah yang cukup pe­lik, mulai dari masalah kawin mu­da hingga penyalahgunaan nar­koba. Semakin muda usia saat perkawinan pertama semakin besar risiko yang dihadapi ibu dan anak. Salah satu indikator kesejahteraan rakyat adalah angka kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Laporan UNICEF tahun 2001 menyebutkan angka kematian ibu rata-rata dari tahun 1980-1999 adalah 450 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan hasil SKRT 1995 menunjukkan penurunan angka kematian ibu sampai 373 per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa penyebab utama kematian tersebut adalah tidak tersedianya perawatan ibu dengan baik, jarak kelahiran yang terlalu berdekatan, dan pernikahan dini.
       Sebuah survei tahun 1995 mendapatkan 21,5% perempuan Indonesia yang perkawinan pertamanya dilakukan pada usia 17 tahun. Di daerah pedesaan dan perkotaan perempuan melakukan perkawinan di bawah umur tercatat masing-masing 24,4% dan 16,1%. Persentase terbesar kawin muda terdapat di propinsi Jawa Timur 40,3%, Jawa Barat 39,6%, dan Kalimantan Selatan 37,5%.
       Untuk kasus Human Immuno­de­ficiency Virus/Acquired Im­mune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) me­nun­jukkan, hampir sete­nga­h­nya, yakni 45,9 persen kasus ber­asal dari usia 20-29 tahun. Data  itu menunjukkan, usia remaja juga rentan terkena HIV/AIDS. Yang masih menjadi masalah saat ini adalah bahwa usia kawin pertama di Indonesia pada pe­rempuan baru mencapai 19 ta­hun. Padahal, usia kawin perta­ma pe­rempuan diharapkan 21 tahun. Karena itu, perencanaan ke­luarga sejahtera seharusnya dimulai se­jak remaja.
       Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, ter­ca­tat ada 35 dari 1.000 remaja yang sudah pernah melahirkan. Bahkan, usia rata-rata perka­wi­nan wanita adalah 19 tahun.Guna menanggulangi persoa­lan ­remaja saat ini, Badan Ke­pen­dudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terus meng­ga­lakan program “Generasi B­e­ren­cana (GenRe) Goes to School”.
“Program GenRe ini diha­rap­kan bisa mencetak sosok mo­ti­vator di kalangan remaja untuk meng­kampanyekan ke setiap se­kolah,” kata Deputi Keluarga Se­jahtera dan Pemberdayaan Ke­luar­ga BKKBN Dr Sudibyo Ali­moe­so di Jakarta.
         Sekitar 64 juta jiwa remaja Indonesia rentan akan kasus kawin muda atau sekitar 27,6 persen dari jumlah penduduk yang ada. Ini diutarakan Kepala BKKBN, Dr Sugiri Syarief.



        Salah satu bentuk perilaku risiko tinggi yang terjadi dan menjadi masalah masa remaja adalah perilaku yang berkaitan dengan seks pra nikah. Angka statistik tentang deviasi (penyimpangan) perilaku seks pra nikah anak remaja dari tahun ke tahun semakin meningkat. Era tahun 1970, penelitian mengenai perilaku seks pra nikah menunjukkan angka 7-9%. Dekade tahun 1980, angka tersebut meningkat menjadi 12-15%. Berikutnya tahun 1990 meningkat lagi menjadi 20%.
        Di era sekarang ini, Pusat Studi Kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35% dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual pra nikah dimana 50% nya menyebabkan kehamilan. Di Kabupaten Kulon Progo berdasarkan pantauan Dinas Kesehatan tahun 2006, sekitar 44% calon pengantin baru yang melakukan tes kehamilan telah diketahui positif hamil.
        Data nasional survei keluarga tahun 1982 sebanyak 65% perempuan muda menggunakan kontrasepsi yang tidak efektif atau tanpa kontrasepsi sewaktu melakukan hubungan seks pertama, kejadian tersebut menurun menjadi 41% pada tahun 1988.6 Penelitian oleh Pusat Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI tahun 1990 terhadap siswa-siswa SMA di Jakarta dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah adalah membaca buku porno dan menonton blue film (54,3% di Jakarta dan 49,2% di Yogyakarta).  Adapun motivasi utama melakukan senggama adalah suka sama suka (76% di Jakarta dan 75,6% di Yogyakarta), pengaruh teman, kebutuhan biologis 14-18% dan merasa kurang taat pada nilai agama sebanyak 20-26%.
       Sungguh disayangkan dengan berbagai alasan para remaja untuk melakukan hubungan seksual pra nikah yang tentunya menjadi dampak yang sangat buruk bagi kehidupan remaja. Semoga setiap tahunnya permasalahan yang terjadi pada remaja bisa terus berkurang khususnya dalam hal pergaulan yang bisa merusak diri remaja sendiri. 

Artikel ini diambil dari Ikatan Dokter Anaka Indonesia (idai.or.id)
Terima kasih.

Tahapan perubahan pada remaja

      Saat remaja kita selalu menemui banyak perubahan pada diri kita, baik itu masalah fisik, mental hingga emosional kita. Kadang banyak remaja yang tidak siap untuk menerima perubahan pada dirinya dari yang sebelumnya menjadi anak-anak yang masih bisa bermain-main dan tidak perlu memikirkan diri baik itu penampilan hingga hubungan dengan lawan jenis. adapun berikut tingkatan remaja serta karakteristik dalam setiap tahapan remaja.

Tipe Usia (tahun) Karakteristik Dampak
Remaja dini 10-13 Masa pubertas, hubungan dengan teman, kognisi konkret Memperhatikan tahapan fisik dan seksual, rasa tanggung jawab, interaksi dengan alat verbal dan visual
Remaja pertengahan 14-16 Muncul dorongan seksual, perubahan perilaku, kebebasan, kognisi abstrak Menarik lawan jenis kebebasan bertambah, sikap ambivalen, ego belum stabil
Remaja Akhir 17-21 Kematangan fisik, saling berbagi rasa, idealis, emansipasi mantap Hubungan individual, lebih terbuka, memahami tanggung jawab, memahami tanggung jawab, paham tujuan hidup, paham kesehatan.

       Semoga artikel ini bermanfaat. Terima kasih telah membaca.

         Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 1995 memperkirakan sekitar 5 juta orang berusia kurang dari 17 tahun meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Jumlah perokok dari kalangan remaja Indonesia akhir-akhir ini mengalami peningkatan. BPS mencatat pada tahun 2004 perokok aktif dari kalangan anak-anak ada pada kisaran usia 13-15 tahun dengan jumlah 26,8 % dan pada kisaran 5-9 tahun sebanyak 2,8 %. Komnas Perlindungan Anak mendapatkan data tentang faktor penyebab daya tarik remaja terhadap rokok. Diperoleh data, 99,7 % remaja terpengaruh untuk merokok setelah melihat iklan rokok di televisi; 87,7 % setelah melihat iklan rokok di luar ruang; 76,2 % setelah melihat iklan rokok di koran dan majalah, dan 81 % setelah mengikuti kegiatan yang disponsori industri rokok.
           Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.
  • Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
  • Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
  • Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, yagresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
  • Cinta dan Hubungan Heteroseksual
  • Permasalahan Seksual
  • Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
  • Permasalahan moral, nilai, dan agama
      Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson, menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol, dan narkoba.

Artikel ini diambil dari website Ikatan Dokter Anak Indonesia (idai.or.id)
Terima kasih.
Bidan Baiq. Diberdayakan oleh Blogger.